Jumat, 20 Agustus 2010

Sungguh Sebuah Ironi

"Aku gak kuat disini, aku gak tahan, aku gila. Mama marah-marah mulu dan mukul, masih mending mama orang lain, marah gak sampai mukul, aku mau ke tempat nenek aja" teriakan itu terdengar begitu menyakitkan buat saya. Bagaimana tidak, seorang anak bisa melontarkan kata-kata seperti itu kepada Ibunya bahkan di bulan Ramadhan seperti ini.

Kronologisnya begini. Saya baru saja pulang dari kampus sekitar pukul 4 sore. Diperjalanan pulang, dengan mata yang sedikit mengantuk (karena malamnya kurang tidur) saya membuat plan untuk sore itu. Turun dari angkot nyari ta'jil dulu, terus pulang, shalat, mandi, lalu tidur hingga adzan maghrib tiba. Yup, itulah plan saya buat sore itu. Tapi apalah daya, karena mengantuk, saya tidak fokus, sehingga tempat dimana saya membeli ta'jil terlewat. Dengan begitu, saya terpaksa menunda beli ta'jil, dan memilih pulang terlebih dahulu, shalat, mandi, beli ta'jil, baru tidur. Begitu turun dari angkot, saya pun melanjutkan perjalanan ke kostan dengan berjalan kaki. Namun tiba-tiba saya mendengar suara seorang ibu yang sedang marah-marah kepada anaknya. "Astaghfirullah, bulan puasa gini kok marah-marah sih" kalimat itu saya ucapkan dalam hati. Saya mengenal keluarga ibu itu, meskipun tidak kenal dekat, tapi setidaknya saya kenal dengan beliau, suami beliau, dan kedua anaknya.

Namun langkah saya tiba-tiba terhenti karena mendengar kemarahan sang ibu menjadi-jadi. Saya memang tidak bisa melihat kejadian itu, namun saya bisa mendengarnya dengan jelas. Tampaknya si Ibu benar-benar murka kepada anaknya. Dari suara tangis anak itu, saya tahu bahwa yang kena marah adalah p***i, anak pertama ibu itu. saya tidak tahu pasti berapa usia anak perempuan itu, tapi mungkin sekitar kelas 5 atau 6 sd (wah sebaya adik saya yang cewek nih). Saya tidak ingat pasti susunan kalimat-kalimat yang dilontarkan ibu itu kepada anaknya, tapi yang jelas ibu itu ada melontarkan kata-kata seperti ini "Kamu kecil-kecil udah kurang ajar ya"; "Kamu itu masih kecil udah gak tau diri"; "Sekali lagi kamu kayak gitu, aku usir kamu dari rumah ini". "Astaghfirullah" batin saya dalam hati. Apakah seorang ibu pantas melontarkan kata-kata seperti itu untuk anak seusia itu? Selain kata-kata itu, sepertinya anak itu juga dipukuli oleh ibunya.

Hati saya benar-benar sedih melihat penderitaan gadis kecil itu. Kok bisa setega itu ya sang Ibu? Dari kemarahan ibu tersebut, saya bisa mendengar bahwa gadis kecil itu telah melakukan kesalahan. Dari yang saya tangkap, sepertinya gadis itu tidak langsung pulang ke rumah setelah pulang sekolah dan kejadian itu telah terjadi berulang kali. Saya masih menguping, dan dari yang saya dengar, sepertinya gadis itu bolos les lalu pergi bermain kerumah temannya. Di point inilah sepertinya yang menjadi sumber dari kemarahan ibu itu. Sepertinya ibu temannya gadis itu mengadu kepada ibu gadis itu, dan ia merasa keberatan jika gadis kecil tadi selalu bermain kerumah dia setiap pulang sekolah. Hal ini lah yang mungkin membuat ibu itu murka kepada gadis itu. Mungkin ibu ini merasa malu karena prilaku putri nya.

Sejenak hening. Saya mengira kemarahan ibu itu sudah reda, karena tadi saya sempat mendengar ibu itu menyuruh putri nya untuk masuk ke kamar. Namun saya masih tetap berada ditempat saya mendengar amarah ibu itu. Ingin rasanya saya menegur cara ibu itu "mendidik" anaknya. Tapi apalah daya saya? Saya bukanlah siapa-siapa di keluarga itu. Saya sekedar kenal dengan keluarga kecil itu. Lagipula apa tidak salah, orang seumuran saya (yang sampai tulisan ini dibuat, masih berusia 19tahun) menegur orang yang jauh lebih tua dari saya? Saya masih terdiam di tempat saya mendengar kemarahan ibu itu.

Tiba-tiba saya teringat akan keluarga saya. Saya ingat ketika liburan kemaren, ayah dan ibu saya menceritakan betapa nakalnya saya ketika masih kecil dulu kepada adik-adik saya. Terutama ketika ayah saya menceritakan kejadian di pasar ketika orang tua saya sedang berbelanja. Ayah saya menceritakan bahwa saya sangat sering merusak dagangan orang di pasar tersebut. Dan jika ditegur dan dilarang oleh ayah saya, saya akan marah-marah di pasar dan sampai ngomong "aldi gak mau lihat papa" dan tiap kali saya melihat ayah saya, saya langsung marah-marah (karena ketika ibu saya sedang berbelanja, yg menjaga saya adalah ayah saya). Ayah saya hanya tersenyum ketika itu. "Subhanallah, betapa sabarnya beliau" batin saya. Lalu ibu saya yang menghampiri saya, dan membujuk saya. Dan akhirnya saya pun mau dibujuk dan kembali dijaga oleh ayah saya.Sontak saja adik-adik saya tertawa terbahak-bahak begitu mengetahui kelakuan saya ketika kecil. Saya hanya bisa tersenyum malu, dan merasa bersyukur memiliki orang tua sehebat ayah dan ibu saya. Namun, bukan berarti mereka tidak pernah marah loh. Orang tua saya kerap memarahi saya ketika saya melakukan kesalahan berat, seperti ketika mereka mengetahui saya pernah mencontek, ataupun mencuri buah di pohon tetangga. Namun, marah orang tua saya berbeda dengan ibu itu. Orang tua saya tidak memukuli saya ketika marah (dan juga ketika memarahi adik-adik saya jika mereka salah). Selain itu, tata bahasa mereka juga tetap terjaga ketika marah, tidak kasar sama sekali meskipun intonasi suara mereka tinggi. Daripada dimarahi, jujur saja saya lebih merasa di nasehati.

Tiba-tiba saya tersentak. Suasana hening tadi mendadak jadi gaduh lagi. Sepertinya si ibu merasa belum cukup "mendidik" anaknya. Si ibu kembali memarahi gadis tadi, dan kali ini saya juga mendengar suara sapu lidi (sepertinya gadis itu dipukuli dengan sapu lidi). Gadis itu sambil menangis memohon maaf kepada ibunya sambil minta untuk tidak dipukul lagi. "aku minta maaf ma, aku ngaku salah. jangan dipukul lagi" kalimat itu terlontar dari bibir gadis kecil itu sambil menangis. "Kalau kamu tau salah, kenapa kamu lakukan?" kata si ibu. dan "Plak". sepertinya gadis itu dipukuli lagi dengan sapu lidi. Ingin rasanya hati ini menangis. Sedih bukan kepalang harus mendengar secara langsung, gadis sekecil itu dimarahin dengan cara yang tidak mendidik. Sampai akhirnya kalimat itu terlontar dari bibir gadis kecil itu, "Aku gak kuat disini, aku gak tahan, aku gila. Mama marah-marah mulu dan mukul, masih mending mama orang lain, marah gak sampai mukul, aku mau ke tempat nenek aja"

Lalu terdengar suara gadis kecil itu berlari. Saya panik!!! Buru-buru saya kabur dari tempat saya berdiri dan langsung menuju kostan saya yg tidak jauh dari tkp. Saya sempat melihat gadis itu keluar dari rumahnya dan berlari sambil menangis ke arah rumah neneknya yang berjarak hanya beberapa rumah dari rumah gadis itu.

Saya hanya bisa terdiam. Saya tidak menyangka si ibu bisa marah sampai sebegitunya. Yang membuat saya makin sedih adalah si Ibu sepertinya terlalu menyalahkan anaknya atas masalah ini. Menurut hemat saya, gadis kecil itu sepertinya kurang kasih sayang dari kedua orangtua nya, sehingga ia menjadi bandel seperti itu. Bagaimana tidak, kedua orang tua nya bekerja di bank, dan mereka selalu berangkat pada pagi hari dan baru pulang pada malam hari. Rutinitas itu selalu terjadi dari hari senin hingga jum'at. wajar jika gadis itu merasa kurang perhatian sehingga menjadi bandel. Dan sayangnya si Ibu tidak menyadari kesalahannya itu. Seharusnya si ibu bisa lebih bijak menyelesaikan masalah ini dan lebih memilih cara persuasif dari pada cara kekerasan seperti tadi. Malang sekali nasib gadis itu. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kelak jika gadis kecil itu telah dewasa namun tumbuh dan berkembang dengan cara seperti itu. Sungguh sebuah ironi. Andai saja ada yang bisa saya lakukan untuk membantu gadis kecil itu.....

Ditulis setelah berbuka puasa pada hari Jum'at, 20 Agustus 2010 berdasarkan kejadian yang saya alami langsung beberapa jam sebelumnya.

1 komentar:

  1. nice dil
    terus bercerita yaa
    kanan kiri kita yang tak bersuara masih butuh kamu :)
    hhehe

    karna kita masih blom bisa bertindak apa-apa, mending doa bareng-bareng yuk supaya keadaan ibu dan anaknya bisa lebih baik :)

    BalasHapus